“Tidak ada amal manusia pada hari nahar (qurban) yang lebih dicintai selain menumpahkan darah (dengan menyembelih hewan kurban)…”

(HR Tirmidzi dari Aisyah RA).


Hari raya qurban kembali menyapa ummat manusia dengan segala rahasia ilahi yang tersembunyi di belakangnya. Dunia pun bergemuruh tatkala kaum muslimin mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid di seluruh penjuru bumi. Semua itu menggugah kesyahduan dan keharuan dalam dada kaum muslimin karena terulangnya  kembali memori sejarah kenabian tentang kewajiban qurban dan manasik haji, yang kalaulah sejarah tidak menceritakannya kepada kita niscaya kita tidak percaya hal itu pernah terjadi dimuka bumi ini.

Tokoh sejarah yang mengagumkan itu bernama Ibrahim, Hajar dan Ismail ‘alaihimus salam. Merekalah keluarga yang seolah tak habis-habisnya mengajarkan keteladanan tentang ketaatan, kesabaran, kesetiaan, keutamaan, keimanan, perjuangan dan kepahlawanan sejati.

Mari kita ikuti potongan bukti sejarah kebesaran mereka…..Tatkala Ibrahim AS bermimpi menyembelih sang anak tercinta, Ismail AS. Sang ayah termenung, “Apakah ini perintah Allah?”.

Kegundahan melanda, antara fitrah cinta terhadap anak serta daya respons yang cepat atas perintah Allah. Antara kerinduan menggelora karena baru bertemu dengan belahan jiwa yang telah lama berpisah sejak Ismail masih bayi yang ditinggalkan di padang tandus bersama ibunya, dengan kerinduan untuk melaksanakan perintah Sang Kekasih, Allah SWT. Antara cinta anak yang manusiawi dengan cinta Allah yang imani.

Konflik psikologis ini sedemikian menyiksa jiwa Ibrahim, ia berada dalam keraguan apakah mimpinya merupakan perintah Allah atau bukan?. Dan seolah cemburu jika kecintaan terhadap-Nya diduakan, Allah SWT mempertegas perintah penyembelihan Ismail AS dengan mengulang mimpi Ibrahim.

Ibrahim AS terperanjat, ia tersadar bahwa itu betul-betul perintah Allah SWT, dan keterlambatan melaksanakan instruksi merupakan tanda kelemahan cinta kepada-Nya. Tiba-tiba kebulatan keyakinan sudah bersarang di dadanya menjadikan jiwanya tenang. Ia pun memanggil sang anak, Ismail AS, mengkhabarkan titah ilahi dengan teknik diplomasi yang menggoda

“Wahai ananda, sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu. Maka, bagaimana menurut pendapatmu?”.

Sang anak terdiam, ketajaman mata hatinya mengatakan itu bukan sembarang mimpi, namun itu adalah instruksi ilahi. Ia menyadari kedudukan sang ayah di sisi-Nya dan konsekuensi otomatis dari hal itu. Sambil tersenyum, lisan anak shalih ini pun dengan tenangnya berucap:

“Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan ilahi kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatkan aku termasuk orang-orang yang shabar”.

Sungguh sangat mempesona jawaban yang keluar dari anak shalih ini. Tidak sia-sia tarbiyyah rabbaniyyah yang selama ini dijalaninya di bawah bimbingan madrasah terbesar sang ibu, Siti Hajar. Ucapan tersebut merupakan bukti kesuksesan produk tarbiyyah islamiyyah yang merupakan jawaban atas ujian ilahi kepadanya.

Allah SWT pun berkenan mengabadikan dialog diatas dalam Al Qur’an Surat Ash Shafat: 102. Dialog menyejarah yang memberikan berlaksa hikmah kebesaran untuk dijadikan pelajaran umat manusia sepeninggal mereka.

Tunggu dulu, pesona keagungan dan pelajaran kebesaran itu belum selesai……

Syaithan tak pernah tenang melihat Allah SWT ditaati yang berarti dirinya dipecundangi. Ia pun merancang strategi dan konspirasi untuk menggagalkan proyek ketaatan Ibrahim dan Ismail ‘Alaihimussalam. Namun, ia mesti berhadapan dengan dua orang pemimpin orang-orang shalih yang memiliki keimanan sekokoh gunung dan keyakinan setegar batu karang.

Bukan kesuksesan makar yang diperoleh sang syaithan, bukan pula sambutan penerimaan dari Ibrahim dan Ismail, tapi deklarasi permusuhan dan sambitan batu sebagai simbol perlawanan. Syaithan kembali melancarkan program godaannya, tapi kembali ia hanya mendapat lemparan batu.

Prosesi pelemparan syaithan ini berulang sampai tiga kali. Allah SWT kembali berkenan mengabadikan peristiwa menyejarah ini dalam syariat jumrah, yang merupakan simbol abadi atas permusuhan antara manusia-manusia beriman dengan syaithan yang terlaknat.

Lihatlah sang syaithan itu, alangkah sabarnya dia mencari teman sejawat di neraka. Setelah gagal total merusak program ibadah Ibrahim dan Ismail, ia mendatangi Siti Hajar dan membocorkan rencana penyembelihan Ibrahim. Syaithan berusaha memanfaatkan sifat kewanitaan dan keibuan Siti Hajar dan mengarahkannya kepada penolakan renacana suaminya.

Namun, Syaithan kembali harus menelan ludah kekalahan, ketika dengan tegarnya Siti Hajar menjawab tipu daya Syaithan dengan berkata:

“Kalau Ibrahim menyembelih Ismail itu atas perintah Allah, maka Allah lebih kasih sayang dari bapaknya!”

Di saat yang tak jauh berbeda, Ismail dengan tenangnya siap dalam posisi untuk disembelih sebagaimana sang ayah telah siap melakukan eksekusi. Dalam detik-detik yang menentukan itulah Jibril AS turun menyampaikan wahyu yang diabadikan dalam QS As shofat ayat 103-108:

“Maka tatkala Ibrahim dan Ismail telah berserah diri dan Ibrahim telah merebahkan Ismail pada dahinya. Dan Kami memanggil, ‘Hai Ibrahim, sungguh kau telah membenarkan impian itu. Sesungguhnya Kami dengan cara itu membalas orang-orang yang berbuat baik. Ini adalah ujian yang besar. Dan Kami tebus Ismail dengan domba yang besar.  Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” (QS As shofat : 103-108)

10 Dzulhijjah adalah tanggal yang mendapat kehormatan pengabadian peristiwa bersejarah tersebut. Pada tanggal itulah senantiasa dirayakan sebagai Idul Adha yang merupakan hari suci kaum muslimin selain Idul Fithri. Pada hari itulah peristiwa besar tersebut senantiasa terulang dalam memori kaum muslimin dan senantiasa tak pernah henti mengundang decak kagum serta hikmah.

Keluarga Ibrahim telah berhasil melewati ujian ilahi dan keluar sebagai juara. Mereka berhasil meningkatkan sifat kemanusiaannya dengan keimanan dan mengeliminir sifat  kebinatangan, sebagaimana Ismail diselamatkan dan diganti domba. Ya, manusia digantikan binatang untuk disembelih.

Saat ini, teramat sulit menemukan keluarga semodel keluarga Ibrahim AS yang berhasil “menyembelih” kebinatangannya serta mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ilahi dalam dirinya. Realitas menunjukkan justru banyak manusia yang terdominasi sifat-sifat kebinatangan dalam kehidupannya, bahkan lebih sesat dari binatang.

Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah) mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS Al A’raf: 179)

Hati, mata dan telinga yang merupakan potensi yang Allah berikan sebagai perangkat pencari kebenaran tidak digunakan semestinya sehingga mereka mendapatkan gelar terburuk: ‘sesat seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat dari binatang ternak’. Demikianlah Al Qur’an menjelaskan.

Perjalanan kehidupan yang penuh ancaman, tantangan dan godaan mungkin telah menyeret kita sehingga terdominasi sifat kebinatangan dan menjauh dari Allah SWT. Maka di hari qurban ini, mari kita mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan menjadikannya sebagai ajang “penyembelihan” sifat-sifat kebinatangan dengan simbolisasinya berupa penyembelihan binatang Qurban.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan  berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus” (QS Al Kautsar: 1-3)