Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”

[HR. Bukhari dan Muslim]

 

“…Sesungguhnya, telah sampai kepadaku sebuah surat dari Anda, namun surat ini ditulis tanpa ada tanggalnya…, Itulah bunyi surat jawaban yang diterima Khalifah Umar bin Khattab RA dari Gubernur Kufah di masanya. Khalifah Umar tersentak, ia tersadar bahwa kaum muslimin sebagai umat terbaik belum memiliki sistem penanggalan sendiri yang menunjukkan identitas jati dirinya dan sama sekali berbeda dengan umat lain.

Umar pun mengundang para sahabat untuk bermusyawarah menentukan sistem penanggalan dalam Islam. Para sahabat menyambut inisiatif Umar dengan antusias. Mereka menyampaikan berbagai usulan mengenai momentum bersejarah dalam Islam yang akan dijadikan titik tolak penanggalan kaum muslimin.

Ada beberapa usulan dari para sahabat berkaitan dengan momentum bersejarah yang akan dijadikan titik tolak penanggalan, di antaranya yaitu: pertama, tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW seperti kaum Nasrani menggunakan kelahiran Nabi Isa AS. Kedua,  tanggal awal turunnya wahyu kepada Rasulullah. Ketiga, momentum hijrah kaum muslimin ke Yatsrib. Dari berbagai usulan tersebut, musyawarah memutuskan menerima usulan Ali bin Abi Thalib RA yang berpendapat awal penanggalan kaum muslimin sebaiknya dimulai dari momentum hijrah kaum muslimin ke Yatsrib yang di kemudian hari menjadi Madinah Al Munawwarah.

Keputusan telah diambil. Hijrah yang merupakan fase tahawwulid dakwah (transisi dakwah) yang monumental tidak hanya menjadi legenda, tapi juga menjadi bagian yang tak terpisahkan (inheren) dalam struktur peradaban kaum muslimin karena diabadikan dalam sistem penanggalannya.

Di balik pengambilan keputusan itu, ada harapan besar dari para pengambil kebijakan (decision maker / akhidzul qarar) dalam musyawarah tersebut, yakni supaya kaum muslimin pada masa itu dan generasi sesudahnya mampu melakukan internalisasi nilai-nilai hijrah dalam dirinya yang berupa nilai keikhlasan, kesabaran, keimanan, perjuangan, pengorbanan dan sebagainya. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut diharapkan mampu menjadi spirit dan elan vital dalam seluruh aspek kehidupannya.

 

Hijrah : Berlaksa Makna Beraroma Perjuangan

Hijrah bukanlah sekedar potongan sejarah kaum muslimin yang hanya terjadi di masa lalu. Ia memiliki berlaksa makna beraroma perjuangan dan senantiasa menyimpan hikmah dibalik dzahir yang tak pernah habis digali. Maka hijrah selalu memiliki spirit inspiratif untuk hari ini dan masa depan.

Dalam kamus Al Munawwir, secara bahasa hijrah memiliki beberapa makna, di antaranya taroka: meninggalkan; Qotho’a: memutuskan; Syadda : mengikat; dan sebagainya.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa hijrah merupakan sebuah keputusan untuk meninggalkan “sesuatu” dan mengikatkan diri dengan “sesuatu” yang lain. Ia menghimpun makna Al Intiqal min makanin ila  makanin akhor: perpindahan dari satu posisi ke posisi yang lain.

Para ulama membagi hijrah sebagai titik tolak (nuqthotut tahawwul) ke dalam dua macam:

1.          Hijrah Maknawiyyah

Hijrah maknawiyyah adalah Hijrah secara maknawi/internal/spiritual. Ia  merupakan hijrah yang sifatnya wajib dan muthlaq harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin.

Hijrah maknawiyyah dalam aplikasinya bermacam-macam diantaranya:

·      Hijrah min al jahiliyyah ila al islam (Hijrah dari jahiliyyah kepada Islam)

·      Hijrah min al kufri ila al iman (Hijrah dari kekufuran kepada Iman)

·      Hijrah min asy syirki ila at tauhid (Hijrah dari syirik kepada tauhid)

·      Hijrah min al bathil ila al haq (Hijrah dari kebathilan kepada kebenaran)

·      Hijrah min an nifaq ila al istiqomah (Hijrah dari kemunafikan kepada istiqomah)

·      Hijrah min al ma’shiyyat  ila ath thoat (Hijrah dari kemaksiatan kepada ketaatan)

·      Hijrah min al haram ila al halal (Hijrah dari keharaman kepada kehalalan)

·      Hijrah min adz dzulmi ila al ‘adalah (Hijrah dari kedzaliman kepada keadilan)

·      Dan sebagainya.

Hijrah Maknawiyyah ini menuntut ketidakpuasan yang konstruktif dalam rangka perbaikan diri dan umat yang berkesinambungan sekaligus dorongan ke arah yang lebih baik. Ia tidak mengenal waktu, tempat dan kondisi : kapanpun, bagaimanapun dan dimanapun ia berada wajib melakukan hijrah maknawiyyah secara konsisten, persisten dan resisten.

2.         Hijrah Makaniyyah

Hijrah makaniyyah adalah hijrah teritori/lokasi yang dilakukan kaum muslimin dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan-alasan tertentu yang bisa dibenarkan secara syar’i. Ia merupakan hijrah yang bersifat muqayyad (terikat dengan syarat-syarat tertentu) dan bersifat temporal (mu’aqqotah).

Hijrah makaniyyah ini dilakukan setidaknya memiliki dua alasan, yaitu:

·         Alasan keamanan (al amniyyah). Hijrah ini disyari’atkan kepada kaum musthad’afin (proletar, lemah, tertindas) untuk melepaskan diri dari dominasi tiran yang mengancam eksistensi keislaman kaum muslimin. Ia juga bisa dilakukan untuk iltija (mencari suaka). Contohnya adalah hijrah kaum muslimin ke Habsyi/Ethiopia dalam rangka mencari suaka kepada raja Najasyi dan hijrah Rasul ke Thaif dalam rangka mencari dukungan, keduanya dilakukan ketika kaum kuffar quraisy melakukan tindakan-tindakan represif atas nama stabilitas untuk menghantam dakwah Rasulullah SAW.

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kalian ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas (musthad’afin) di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An Nisa ayat 97).

·         Alasan keimanan (al imaniyyah) yang merupakan respon atas instruksi Allah SWT. Hijrah ini disyariatkan kepada semua kaum muslimin secara umum, baik muslimin yang  musthad’afin ataupun bukan. Contohnya adalah hijrah ke Madinah yang dilakukan oleh Rasulullah dengan memobilisasi (at ta’bi’ah) seluruh kaum muslimin berdasarkan instruksi Allah SWT. Hijrah ini juga memiliki tujuan untuk membangun basis sosial (al qo’idah al ijtima’iyyah) dan basis teritori (al qaidah al ardliyyah). Ia dilakukan bukan sebagai ekspresi ketakutan kaum muslimin tetapi merupakan abjadiat perjuangan dakwah Islam.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan terhadap orang-orang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka seblem mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Anfaal ayat 72).

Hijrah makaniyyah ini bersifat insidental serta mengenal batas waktu dan tempat, yaitu ketika dakwah mendapat tribulasi, maka diperbolehkan hijrah ke tempat yang aman untuk melaksanakan ajaran Allah SWT. Hijrah makaniyyah memiliki masa tidak berlaku tergantung ketercapaian tujuan dan fungsinya. Pasca Futuh Mekah (Penaklukan kota Mekah), Rasulullah bersabda: “Tidak ada lagi (kewajiban) hijrah sesudah futuh mekah, kecuali iman dan hijrah (terus wajib)”.

 

Spirit Hijrah: Elan Vital Menuju Kebangkitan Umat

Hijrah telah dipilih sebagai sistem penanggalan kaum muslimin. Namun fakta berbicara hari ini kaum muslimin kurang menggunakannya sehingga hampir-hampir terlupakan dalam kehidupan kaum muslimin. Kaum muslimin justru lebih banyak menggunakan sistem penanggalan masehi yang notabene bersumber dari peradaban romawi.

Tahun baru Hijriah telah kita masuki. Merupakan sebuah keutamaan bagi kaum muslimin untuk memasukinya dengan semangat baru: spirit hijrah. Kaum muslimin wajib melakukan hijrah secara totalitas. Kalaupun hari ini kita tidak melakukan hijrah makaniyyah, tetapi masih ada hijrah maknawiyyah  yang bersifat muthlaq dan wajib dilakukan dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun. Ia bisa dilakukan secara utuh dalam keseluruhan aktifitas hidup kita dengan melakukan berbagai aktifitas terbaik dalam setiap unit waktu kita sehingga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan esok hari lebih baik dari hari ini. Hijrah ini bisa berupa hijrah ekonomi, hijrah politik, hijrah sosial budaya dan sebagainya.

Dulu, spirit hijrah telah menjadikan umat ini tampil di atas panggung sejarah sebagai guru peradaban sehingga hampir dua pertiga dunia merasakan kelezatan iman dan indahnya cahaya wahyu. Ketika eropa berada dalam zaman kegelapan (the dark age), saat itu dunia islam berada di masa puncak keemasan peradaban.

Lama nian umat terbaik ini tenggelam dalam titik nadzir kekelaman sejarahnya!. Sekarang juga, mari kita menjadikan spirit hijrah sebagai “elan vital” (daya gerak) yang akan mendorong akselerasi kebangkitan yang telah dijanjikan Allah SWT melalui lisan Rasul-Nya, agar umat mulia ini mampu kembali menjadi guru peradaban.

Ya, mari menjadi muhajir fi sabilillah!