Wawancara Saya di Harian Pikiran Rakyat edisi Kamis, 28 Februari 2008: http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=13606

BOLEH dibilang, tidak banyak aktivis pergerakan mahasiswa yang menuangkan konsep-konsep perjuangannya dengan menulis. Dalam hal ini berbentuk buku. Setidaknya, itu dirasakan oleh Indra Kusumah, mantan Presiden BEM Keluarga Mahasiswa (Kema) Unpad 2005-2006. "Jarang, mereka yang aktif di jalanan yang sekaligus penulis juga," kata lulusan Psikologi Unpad ini.

Indra ingin mendobrak kebekuan itu dan berbagi pengalamannya selama ini. Ia baru saja meluncurkan buku berjudul Risalah Pergerakan Mahasiswa. Bahkan, Rektor Unpad Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir., D.E.A., turut duduk bersamanya membedah isi buku tersebut di Faperta Unpad Jatinangor, Rabu (20/2). Diskusi buku yang digelar tepat satu hari sebelum 21 Februari sebagai peringatan Hari Mahasiswa Sedunia, yang tahun ini menginjak tahun ke-62, bukannya tanpa alasan.

Indra berniat memaknai kembali hari bersejarah gerakan mahasiswa dunia itu, yang kini seolah terlupakan atau masih kurang familiar bagi para mahasiswa Indonesia. Selain itu, baginya, momentum seperti hari peringatan tersebut bisa dijadikan sarana akselerasi wacana pergerakan. Menurut dia, salah satu yang terpenting dalam pergerakan kemahasiswaan kini adalah jangan takut bertransformasi, mulai dari wacana yang difokuskan sampai dengan metode yang digunakan. "Adaptif dengan dinamika zaman," kata Indra, kelahiran Tasikmalaya, 21 Juli 1982.

Dalam buku setebal 97 halaman itu, Indra mengupas luasnya dunia pergerakan mahasiswa secara ringkas, mulai dari sejarah, prinsip gerakan mahasiswa, strategi, nilai yang harus dianut, hingga hal-hal praktis seperti musyawarah, dan manajemen aksi. Buku ini boleh jadi tidak banyak mengupas wacana-wacana gerakan mahasiswa terkini, namun lebih pada pijakan awal yang wajib diketahui oleh mereka yang mulai bergelut dalam pergerakan mahasiswa.

Dituturkan Indra, ia hanya menuliskan apa yang menjadi pengalamannya dan berharap gelora perjuangan mahasiswa tetap hidup. Sekaligus, buku itu bisa menjadi stimulus bagi lahirnya buku-buku berikutnya tentang aktivisme mahasiswa. Ia mencetak bukunya melalui penerbitan mandiri atas nama Indydec (Indonesian Youth Development Center), sebuah LSM kepemudaan yang didirikannya bersama beberapa orang teman sesama pegiat di BEM se-Bandung Raya. Berikut obrolan lanjut dengan Indra, yang kini tengah menempuh studi Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional, Konsentrasi Kajian Strategik Pengembangan Kepemimpinan, Universitas Indonesia.

Nilai-nilai atau prinsip apa yang harus dipegang dalam aktivisme gerakan mahasiswa?

Mahasiswa harus punya kejelasan ideologi, pemikiran gerakannya jelas, dan meyakini bahwa etika pergerakan serta perilaku organisasi yang lurus adalah syarat kemenangan sebuah gerakan. Sebaliknya, kemaksiatan dan pengkhianatan adalah awal dari kekalahan gerakan. Tentang kepemimpinan, idealnya harus menampilkan kepemimpinan yang tidak berlebih-lebihan. Contoh, tahun 1966. Yang masuk ke DPR dulu, ada yang berstatus mahasiswa sebagai perwakilan mahasiswa. Tetapi mereka kemudian justru lupa dengan idealisme awal. Hidupnya borju, akhirnya dicaci maki oleh kalangan mahasiswa sendiri.

Mahasiswa jangan menggunakan jabatan atau nama lembaga untuk kepentingan pribadi. Misalnya, banyak juga oknum aktivis mahasiswa yang hidupnya dari proposal fiktif. Selain itu, coba lakukan juga aktivitas pergerakan yang intelektual dan inklusif. Jauhi kerja-kerja anarkis dan mengeksklusifkan diri khusus untuk golongan tertentu. Bagi saya, gerakan mahasiswa itu berbasis intelektual, elegan, egaliter, tidak harus tampil meledak-ledak. Gerakan yang berbasis rasionalitas kuat, tidak hanya emosionalitas yang bermain. Jangan sampai aktivis mahasiswa tidak menguasai wacana yang ia perjuangkan atau tidak mengenal petanya. Nanti orang bisa menertawakan.

Gerakan mahasiswa tidak selalu identik dengan aspek politik saja, tapi juga integral seluruh sisi hidup kemahasiswaan. Kalau ada mahasiswa berkontribusi di bidang penalaran, atau pengabdian masyarakat, itu juga bisa. Yang jelas, mahasiswa jangan terlibat di politik kekuasaan, apalagi untuk mencari kemapanan finansial.

Jika sebagai kontrol sosial, mahasiswa terlibat dalam politik kekuasaan belum tentu buruk bukan?

Memang, tetapi saya cenderung tidak setuju kalau mahasiswa masuk gerakan politik kekuasaan. Mahasiswa harusnya menganut politik nilai. Kalau sudah bukan mahasiswa lagi, ya silakan. Saya kurang setuju dengan pendapat Fadjroel Rachman (mantan aktivis mahasiswa 1980-an), bahwa kalau perlu mahasiswa bikin partai politik mahasiswa saja, lalu masuk kekuasaan.

Tugas utama mahasiswa adalah belajar, bukan menjadi pengurus partai politik. Ini pelajaran dari angkatan 60-an, banyak yang kuliahnya nggak beres, karena masuk jadi anggota DPR, dsb., sekolahnya jadi terbengkalai, padahal negeri ini pun harus dibangun dengan ilmu. Ada tiga tahap kontribusi dalam gerakan. Pertama, aktivitas mahasiswa di gerakan mahasiswa. Kedua, bidang profesi, seperti membangun profesionalisme, jaringan, dan kemapanan finansial. Baru deh, tahap ketiga, kalau mau silakan terlibat di politik. Sekali lagi, berpolitik jangan sampai bertujuan untuk mencari kemapanan finansial.

Satu dasawarsa reformasi, bagaimana dengan berjalannya agenda reformasi?

Dalam reformasi, perubahan itu tergantung antara kekuatan reformis dan status quo. Yang jadi masalah, ketika status quo melakukan rekonsilidasi. Itu yang menyebabkan reformasi tertatih-tatih dan agenda reformasi mati suri seperti sekarang. Boleh dibilang, kekuatan orde baru atau neo orde baru, bisa kembali dan memiliki pengaruh signifikan. Maka, wacana yang perlu dikembangkan mahasiswa adalah selamatkan reformasi dan hati-hati dengan neo orba. Coba lihat yang menang pemilu, orang-orangnya masih yang lama, pemikirannya juga masih lama.

Memang, terkadang mahasiswa terjebak dalam milenarisme sejarah, alias romatisme masa lalu. Dulu tuh tahun 1998 bla bla bla. Ya itu kan dulu. Lalu, kamu sendiri, gagasannya apa yang hari ini akan diusung? Hari ini pertarungan bukan hanya jalanan, tetapi lebih pada pertarungan ide, di mana mahasiswa harusnya bisa jadi sumber inspirasi tiada habis.

Kaum muda yang memunculkan reformasi, tetapi mengapa tidak ada pemimpin muda lahir dari sana?

Saya lebih evaluasi ke kita nya, sebagai elemen muda. Kepemimpinan kan kata kuncinya adalah keunggulan. Siapa yang memiliki keunggulan, otomatis akan memimpin. Kepemimpinan tidak perlu minta-minta kan? Malu-maluin aja kalau minta-minta begitu. Coba mahasiswa bangun kompetensi, miliki keunggulan, itu baru social power.

Kita harus menyiapkan gerakan mahasiswa secara terpadu. Pergerakan tidak hanya sosial politik, tetapi juga perbanyak kajian-kajian, seminar, penelitian, karena itu bagian dari gerakan mahasiswa. Sehingga, saatnya nanti terlibat dalam masyarakat, bisa jadi mahasiswa "palugada", alias apa lu mau gua ada, hehehe.

Konteks gerakan mahasiswa harus selalu bersifat aktual. Lalu, jika dikaitkan dengan semakin mahalnya biaya pendidikan sekarang, bagaimana?

Makanya, di bagian akhir buku saya cantumkan tentang perlunya melakukan transformasi gerakan mahasiswa. Saya masukkan beberapa kondisi kekinian mahasiswa dan kampus, misalnya, tradisi ilmiah yang lemah, tuntutan akademik lulus cepat yang berpengaruh pada gerakan, buruknya kualitas pengajar dan kurikulum, kemunduran akhlak, isu pergerakan yang kurang membumi, polarisasi gerakan, termasuk kuliah yang semakin mahal.

Ketika kuliah semakin mahal, banyak orang kaya yang masuk, bisa jadi tidak punya empati pada permasalahan rakyat, karena sudah merasa membayar. Jadi, yang penting kuliah saja dan tidak peduli hal lain. Ini bisa menyebabkan tingkat kekritisan dan empati mahasiswa berkurang. Hari demi hari mahasiswa jadi entitas yang teralienasi dari masyarakatnya sendiri. Hanya kuliah, yang kemudian nanti lulus dan berbaris dalam deretan panjang pencari kerja. Tentunya, sayang kalau seperti itu saja.

Menurut saya, mahasiswa jangan terlalu terpaku pada satu metode gerakan. Jangan sampai tahun dulu gerakannya begitu, sekarang selalu begitu, padahal tuntutannya beda. Jangan sampai menghadapi masalah hari ini dengan pikiran masa lalu. Harus ada transformasi isu, yang tadinya cenderung politik saja, tapi sekarang meluas jadi ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dsb. Juga, transformasi gerakan, misalnya tadinya turun ke lapangan hanya pada saat ada masalah baru muncul seperti koboi, tapi bagaimana sekarang mengoptimalkan semua bentuk advokasi. Jangan hanya terpaku dengan aksi, karena itu hanya satu metode. Untuk manajemen aksi, optimalkan semua saluran komunikasi, dari mulai obrolan sampai teknologi seperti internet.

Terkait gerakan mahasiswa Indonesia yang terpolarisasi dan terfragmentasi oleh ideologi dan kepentingan?

Menurut saya, tidak ada sejarahnya semua organisasi mahasiswa bersatu kompak. Perbedaan adalah keniscayaan, dan tidak selalu harus disatukan, karena bisa jadi itu sebuah kekayaan. Yang harus dibangun dalam polarisasi adalah, kematangan dalam gerakan dan kesiapan untuk berbeda. Kalau disamakan mungkin susah juga, tetapi kalaupun berkonflik, bagaimana konflik itu yang fungsional, bukan disfungsional. Kalau mau konflik yang produktif dan cerdas, debatnya ilmiah, bukan dengan cara-cara yang tidak elegan. Sekarang sih masalahnya, sudah terpolarisasi, saling mencurigai pula, dan jarang mau berinteraksi. Itu sayang sekali. ***

dewi irma
kampus_pr@yahoo.com